Bojonegoro, 10 Desember 2025 - DPRD Kabupaten Bojonegoro menegaskan komitmennya untuk mempercepat penyempurnaan dan penetapan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Perlindungan Perempuan dan Anak (P3A) dalam Forum Group Discussion (FGD) yang digelar bersama Dinas P3AKB, akademisi Universitas Airlangga, organisasi masyarakat, serta sejumlah pemangku kepentingan lainnya. Forum ini menjadi ruang penting untuk menerima masukan komprehensif demi memperkuat regulasi yang dibutuhkan masyarakat Bojonegoro.
Dari sisi legislatif, DPRD Bojonegoro menilai raperda ini mendesak untuk diselesaikan mengingat tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak beberapa tahun terakhir, baik di ranah domestik maupun publik. Ketua Bapemperda DPRD Bojonegoro, Sudiyono, menyampaikan bahwa raperda ini telah masuk dalam Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) Tahun 2026, sehingga seluruh persiapanâtermasuk penunjukan pemrakarsa di lingkungan eksekutifâharus segera dilakukan.
"Tujuan raperda ini jelas, yaitu mencegah kekerasan, melindungi korban, menindak pelaku, dan meningkatkan kesejahteraan. Semua itu memerlukan sinergi kuat antara pemerintah daerah dan DPRD," tegasnya. DPRD juga menyoroti pentingnya dukungan anggaran untuk menjamin terpenuhinya hak-hak perempuan dan anak, terlebih Bojonegoro telah menyandang status Kabupaten Layak Anak.
Akademisi UNAIR, Dr. Santoso, memaparkan kajian teoritis dan yuridis bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Bojonegoro meningkat tajam sejak 2021 hingga 2025. Menurutnya, ini bukan kejadian insidental, melainkan fenomena serius akibat relasi kuasa yang tidak seimbang.
"Perda ini dibangun dari hulu ke hilir. Substansi yang kami susun mencakup struktur kelembagaan yang lebih sistematis, mekanisme pendampingan yang tidak hanya memulihkan tetapi mencegah korban kembali pada situasi rentan," jelasnya.
Akademisi lain menambahkan bahwa penyusunan perda merupakan mandat hukum dari berbagai regulasi nasional, mulai dari UUD 1945, UU Penghapusan KDRT, UU Perlindungan Anak, hingga Perpres 55 Tahun 2024. Dengan demikian, Bojonegoro wajib memiliki payung hukum daerah yang kuat dan operasional.
DPRD mencatat berbagai masukan strategis dari para peserta FGD: - Pengadilan Agama Bojonegoro menyoroti pentingnya sistem informasi terpadu yang dapat diakses semua pemangku kepentingan, serta isu perkawinan dan perceraian anak. - Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak menekankan agar raperda tidak hanya melindungi korban bullying, tetapi juga pelaku anak yang berisiko menjadi korban baru setelah dikeluarkan dari sekolah. - Bojonegoro Institute menggarisbawahi kebutuhan mekanisme aduan yang mudah, termasuk layanan online yang responsif serta pemberdayaan ekonomi bagi korban sebagai stimulus keberanian melapor. - Muslimat NU mempertanyakan urgensi pasal khusus tentang kekerasan digital mengingat bahayanya di era media sosial. - Forum Anak Bojonegoro meminta agar ada perlindungan khusus bagi anak yang melaporkan kekerasan serta kewajiban sekolah melakukan pelaporan rutin.
Dalam perspektif membantu penyempurnaan perdanya, Bapemperda DPRD juga menyoroti perlunya mempertegas mandat peraturan turunannya seperti Perbup agar perda tidak berhenti menjadi wacana tanpa implementasi.
Menindaklanjuti banyaknya masukan, Bagian Hukum dan DPRD Bojonegoro mendorong agar penyusunan raperda memperhatikan konsistensi redaksional, mempertegas peran kelembagaan, serta memastikan siapa yang akan melaksanakan ketentuan di lapangan. DPRD Bojonegoro juga menilai pentingnya memperjelas peran petugas desa yang selama ini belum responsif.
DPRD Bojonegoro menegaskan bahwa penyempurnaan raperda akan terus dilakukan dengan mempertimbangkan masukan masyarakat dan ahli. "Perlindungan perempuan dan anak bukan hanya urusan pemerintah, tetapi tanggung jawab bersama. Namun regulasinya harus jelas dan operasional," ujar perwakilan DPRD Bojonegoro dalam forum.
FGD ditutup oleh pembawa acara dengan harapan raperda P3A dapat segera disempurnakan dan ditetapkan. DPRD Kabupaten Bojonegoro memastikan akan terus mengawal proses pembahasan hingga peraturan ini hadir sebagai payung hukum yang kuat, implementatif, dan menjawab kebutuhan riil masyarakat di tengah meningkatnya ancaman kekerasan terhadap perempuan dan anak.